buku
Terengah menuju Rafah
Rafah memang satu-satunya harapan buat sekitar 1,6 juta warga Gaza sejak Israel memblokade wilayah seluas 360 kilometer persegi ini.
06 Desember 2014 07:31Suasana di perlintasan Rafah, Mesir, 21 Oktober 2012. (faisal assegaf/albalad.co)
Matahari belum sepenuhnya bangkit ketika kesibukan mulai terlihat di terminal Almarj, pinggiran Ibu Kota Kairo, Mesir, Sabtu, pertengahan Oktober 2012. Sebuah Mercedes biru tua tujuan Rafah masih nangkring di sana. Perlu delapan penumpang buat mengisi penuh tempat duduk dan baru datang seorang ibu bersama dua anaknya belum genap berusia sekolah dasar.
"Saya pulang ke Rafah (di bagian Jalur Gaza)," kata ibu berjilbab sekaligus berabaya serba hitam ini. Seraya tersenyum, dia menolak menyebut namanya. Dia duduk mojok di sebelah kiri, sedangkan putra dan putrinya asyik bermain, seperti dilansir dari buku berjudul Gaza: Simbol Perlawanan dan Kehormatan karya Faisal Assegaf (terbitan Hamaslovers, Agustus 2014)
Di luar, sopir mobil omprengan sibuk berteriak mengail penumpang setujuan dengan ibu beranak dua itu. Setelah dua jam ngetem, Mercedes dengan tiga baris tempat duduk ini berisi penuh penumpang. Selain saya, tambahannya adalah lima lelaki. Semuanya asal Khan Yunis di selatan Jalur Gaza. Termasuk Muhammad (24 tahun) bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab, dan Ismail (22 tahun) merantau di Benghazi, Libya. Dia menjadi teknisi di sebuah rumah sakit di kota terbesar kedua setelah Ibu Kota Tripoli itu.
Sekitar jam 7:30, omprengan itu berangkat. Lama perjalanan ke perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza lima hingga enam jam. "Kita mungkin tiba di Rafah pukul 12:30," ujar Ismail, bungsu dari tujuh bersaudara. Dia baru empat bulan bekerja di Libya.
Menurut dia, keadaan membaik setelah Presiden Mesir Muhammad Mursi dari kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun berkuasa. Penduduk Gaza bebas keluar masuk Mesir saban hari. “Karena itu saya bisa mencari pekerjaan lebih baik di luar Gaza.”
Rafah memang satu-satunya harapan buat sekitar 1,6 juta warga Gaza sejak Israel memblokade wilayah seluas 360 kilometer persegi ini lebih dari lima tahun lalu. Semasa rezim Husni Mubarak, Mesir sangat sungkan kepada Israel sehingga jarang membuka perlintasan Rafah. Banyak terowongan kemudian bermunculan di sepanjang perbatasan.
Karena Israel menutup perbatasan darat, laut, dan udara dengan Gaza, krisis kemanusiaan terjadi di sana. Menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tingkat pengangguran 70 persen dan sekitar 80 persen mengandalkan bantuan kemanusiaan.
Perjalanan mulai molor dari perkiraan lantaran kami menghabiskan sejam buat mengisi perut dan beristirahat di sebuah rumah makan lumayan besar di Provinsi Ismailiya. Letaknya persis di pinggir jalan dan restoran ini menjadi tempat rehat utama bagi orang pergi atau pulang dari Rafah. Baru seperempat jam melaju lagi, sopir terpaksa mencari jalan pintas buat menghindari kepadatan lalu lintas akibat kecelakaan. Kami terpaksa memutar di bawah jalan layang memang sudah macet panjang. Kami terjebak di sini hingga sejam.
Ketika tiba di daerah Al-Abid, sopir beralasan ingin membeli air. Yang terjadi malah berleha-leha sampai setengah jam. Untungnya ini istirahat terakhir. Sopir barangkali merasa bersalah karena berkali-kali sejumlah penumpang ditelepon keluarga mereka di Gaza menanyakan kapan tiba di Rafah. Dia memacu kencang hingga kecepatan rata-rata 140 kilometer per jam. Kami tiba di Rafah sekitar jam 14:30.