kisah
Elegi Aleppo
Konflik sektarian tidak lazim terjadi di Aleppo semasa Kesultanan Usmaniyah.
20 Desember 2016 18:28Suasana malam di Kota Aleppo, Suriah, sebelum perang menghampiri pada Juli 2012. (commons.wikimedia.org)
Faisal Assegaf
Selama lima tahun belakangan, banyak orang mengenal Aleppo karena kekejaman perang. Padahal kota di utara Suriah ini benar-benar terpatri dalam sejarah peradaban dunia. Ia sudah mulai dihuni manusia sejak enam ribu tahun sebelum kelahiran Nabi Isa.
Nama Aleppo juga muncul dalam Macbeth dan Othello, dua lakon drama karya mendiang William Shakespeare, penyair sekaligus budayawan Inggris hidup pada abad ke-16. Aleppo adalah satu satu kota paling dipuja di Timur Tengah. Sejarahnya kaya akan kemenangan dan kekalahan, keberhasilan serta penderitaan.
Aleppo menjadi rebutan banyak kerajaan. Mulai Romawi sampai Bizantium, Fataid hingga Seljuk. Mongol juga tidak mau ketinggalan. "Berapa banyak pertempuran telah terjadi di sana dan berapa banyak pedang berkilat sudah dihunus buat Aleppo?" tulis Ibnu Jubair, pengelana muslim asal Andalusia hidup di abad ke-12.
Saudagar-saudagar dari Aleppo telah mengharumkan nama kota itu hingga jauh berkelana. Banyak orang dari Afrika dulu lebih mengenal Aleppo ketimbang Suriah.
Tidak seperti kota lain di Suriah, Aleppo satu-satunya yang memiliki qudud, jenis musik tradisional berasal dari zaman muslim menguasai Spanyol. Alleppo atau Halab dalam bahasa Arab juga memiliki nama samaran Asy-Syahbaa atau berwarna putih, merujuk pada warna pualam Aleppo memang termasyhur.
Di masa Kesultanan Usmaniyah, Aleppo menjadi pusat dagang lebih penting dibanding Damaskus. The Levant Company of London, perusahaan mengawasi perdagangan antara Kesultanan Usmaniyah dan Inggris, mempunyai kantor pusat di Aleppo hingga abad ke-18.
Pada 2010 atau empat tahun setelah the Islamic Educational Scientific and Cultural Organisation menetapkan Aleppo bersama Isfahan dan Timbuktu sebagai ibu kota kebudayaan Islam, kehidupan bergairah di sana. Para pelancong asing dan investasi membanjiri Aleppo.
Tidak jauh dari Citadel, sebuah istana tua telah bersalin rupa menjadi hotel bintang lima. Sebuah klub malam bergaya Barat menjadi bukti lain perubahan Aleppo dari konservatif menjadi modern.
Sejarah Aleppo sangat mempengaruhi kawasan lebih luas, membentang mulai Iran sampai Mesir. Dalam hitungan bulan pada 1146, Nuruddin Zangi, ketika itu berusia 30 tahun, mengambil tongkat komando ayahnya, membawa pasukannya ke sebelah barat Sungai Furat buat menaklukkan Aleppo.
Selama masa jayanya, Zangi menguasai daerah meliputi Mosul melalui Aleppo hingga Mesir. Dia pula meletakkan dasat bagi panglima pasukan Islam Salahuddin al-Ayyubi untuk menaklukkan Yerusalem dalam pertempuran Hattin, 13 tahun setelah kematiannya.
Secara historias, Aleppo adalah penentu. Siapa saja bisa menguasai Aleppo, dia bisa mencaplok kota-kota lain, termasuk Damaskus. Meski krusial, Hafiz al-Assad, ayah dari Presiden Suriah Basyar al-Assad, tidak pernah mengunjungi Aleppo selama tiga dasawarsa memerintah negara Syam itu.
Mayoritas penduduk Aleppo merupakan muslim Sunni selain penganut Kristen dan Yahudi. Warga kota ini juga dari beragam etnis: Arab, Turkmen, Kurdi, Armenia, dan lainnya. Keberagaman ini telah menentukan karakter orang Aleppo. Hidup berdampingan tanpa ketegangan sektarian sudah menjadi norma sepanjang sejarah Aleppo.
"Ia benar-benar ciri kota zaman Kesultanan Usmaniyah, kota berpenduduk campuran di mana hubungan antar warganya sangat baik," kata Philip Mansel, sejarawan sekaligus penulis buku berjudul Aleppo: the Rise and Fall of Syria's Great Merchant City.
Dia bilang konflik sektarian tidak lazim terjadi di Aleppo semasa Kesultanan Usmaniyah. "Dari hasil penelitian saya, saya hanya menemukan satu konflik antar komunitas pada 1850 dan satu lagi di 1919, tapi itu cuma kerusuhan kecil."
Namun sejak Juli Juli 2012, Aleppo berubah menjadi palagan antara pasukan Suriah melawan pemberontak. Hingga akhirnya bagian timur Aleppo, Selasa pekan lalu dikuasai lagi pasukan pemerintah setelah kaum pemberontak menyerah.
Namun kebengisan perang tidak membikin penduduk Aleppo menjadi beringas. Mereka menulis berbagai syair di tembok-tembok kota saat terpaksa mengungsi. Mereka meratapi Aleppo telah luluh lantak akibat syahwat kuasa.
"Bila penduduk Aleppo ekstremis, mereka tidak bakal meninggalkan puisi romantis dan syair dari penyanyi Libanon Fairuz di tembok-tembok kota mereka ketika mereka mengucapkan selamat tinggal pada Aleppo," tulis Rasya al-Aqid, penulis asal Mosul di akun Twitternya.
Puisi dan syair menghiasi dinding-dinding itu adalah elegi bagi Aleppo.