tajuk
Ambruknya pamor Abbas
Abbas memilih bermain aman dan menyenangkan penjajah Israel. Negara Zionis itu pun berkepentingan buat membela dan menyelamatkan Abbas.
25 Juni 2021 09:57Faisal Assegaf
Pembunuhan terhadap aktivis Palestina Nizar Banat kemarin kian mempertontonkan kediktatoran Presiden Mahmud Abbas. Korban memang getol mengkritik impotensi rezim dan korupsi dilakukan oleh Abu Mazin, sapaan akrab Abbas.
Sejatinya, pasukan loyalis Abbas juga pernah memburu aktivis Palestina lainnya juga kerap membongkar korupsi Abbas. Namun Fadi as-Salamin, ketika Maret lalu berada di Tepi Barat untuk persiapan pemilihan umum, berhasil lolos dari incaran dan kembali ke tempat tinggalnya di Amerika Serikat.
Sila baca: Abbas is the most corrupt leader in the history of Palestine
Ratusan orang turun ke jalan mengecam pembunuhan Banat, diculik dari rumahnya di Hebron oleh 25 aparat keamanan loyalis Abbas dan dipukuli dengan tongkat besi. Mereka menuntut Abbas lengser.
Pamor pemimpin berumur 86 tahun itu memang sudah ambruk. Masa jabatan dia pegang sejak Januari 2005 - menggantikan Yasir Arafat meninggal diracun Israel pada November 2004 - sejatinya sudah habis sedari 2009. Tapi Abbas tidak pernah berniat menggelar pemilihan umum.
Abbas memimpin Fatah takut pesaing beratnya, Hamas, akan menang, seperti pengalaman di Januari 2006. Karena itulah, Abbas membatalkan tiga pemilihan umum dia tetapkan Januari lalu, yakni pemilihan parlemen (22 Mei), pemilihan presiden (31 Juli), dan pemilihan Dewan Nasional Palestina (31 Agustus).
Hasil sejumlah survei memperlihatkan Abbas akan kalah dari Fatah pada pemilihan parlemen, takluk dari Marwan Barghuti - pemimpin dua intifadah masih mendekam dalam penjara Israel - di pemilihan presiden.
Sila baca: Basa basi pemilihan umum Palestina
Apalagi konflik internal dan perpecahan terjadi dalam tubuh Fatah. Nasir al-Qudwah, keponakan dari mendiang Yasir Arafat, mengajukan daftar calon sendiri. Begitu pula Muhammad Dahlan, sekarang menetap di Abu Dhabi.
Sebaliknya, popularitas Hamas kian meroket setelah Perang Gaza berlangsung selama 10-20 Mei. Hamas membuktikan perlawanan bersenjata jauh lebih baik ketimbang berunding nihil hasil dan membikin bangsa Palestina bermartabat di hadapan penjajah.
Abbas juga sadar kalau sampai lengser, dia bakal kehilangan kewenangan untuk mengelola fulus ratusan juta dolar Amerika Serikat. Belum lagi sudah ada komitmen dari sejumlah negara untuk mendanai proyek rekonstruksi Gaza sehabis perang bulan lalu dan duit sumbangan itu mesti dikelola rezim Abbas.
Sebab itu, Abbas memilih bermain aman dan menyenangkan penjajah Israel serta sekutunya, Amerika dan sejumlah negara Arab. Negara Zionis itu pun berkepentingan buat membela dan menyelamatkan Abbas ketimbang membiarkan Hamas, bersumpah melenyapkan Israel, berkuasa.
Abbas sudah memilih jalannya sendiri: berkompromi makan hati dengan Israel lebih baik demi harta dan takhta.